Monday 4 November 2013

Talking About Content as Adjective

con·tent 2  (kn-tnt)
adj.

Desiring no more than what one has; satisfied.



Ada perbedaan tipis antara merasa content / puas dengan merasa bahagia. 

Kalau bahagia itu kamu rasain waktu kamu bisa menghabiskan beberapa jam dengan seseorang dalam diam tanpa merasa aneh atau canggung sedikitpun. 
Maka, content itu adalah waktu kamu bisa nemuin seseorang itu.
As if he/she is enough and you are satisfied alr. 

Dan seperti yang kubaca di Quora, ada ciwiwitan dari seorang professional communicator, namanya Jer Grafsgaard, as he described content and happiness a co-exist / bisa berdiri sendiri dengan arti yang independen. 
He said that being content is a sense of satisfaction and peace.
Whereas, happiness is an emotion of elation.

Itu adalah content. Sekarang, seenggaknya kita udah tau apa bedanya content dengan bahagia. 

Kalau kita itu udah susah bahagia, kita bakal lebih susah lagi untuk merasa content.

Mungkin gampangnya sih ya, being content sama being happy itu berbanding lurus. 

Coba deh kalau kamu itu terlahir sebagai anjing. Bahagianya kamu itu palingan ngejar-ngejar tulang, diajak jalan-jalan sama yang empunya, atau ngga waktu perutmu dielus-elus. 
Contentnya kamu? Yah, terlahir menjadi seekor anjing. 

Kalau bagi beberapa ibu, mungkin akan bahagia dengan benda-benda yang udah diberi nama. You know, Prada, Furla, Choos dan lain-lainnya. 

Kadang lucu, ya. Suatu benda akan menjadi lebih menarik saat sudah ada namanya.

Apalagi kalau lagi ada promo yang satu Kate Spade yang harganya bisa 12 juta itu bisa dibawa pulang setengah harga. 

Dang.

It's an elation in a very expensive discounted and bourjois way. 

Nah, padahal perasaan itu pastinya masih kalah dengan pertama kalinya mereka menimang anak mereka. Anak yang bahkan tidak bisa dibentuk fisiknya sesuka hati, walaupun jelek pun tetap aja dibilang indah karena yang dirasakan saat itu bukanlah bahagia. Tetapi content.

Nah, setelah bisa membedakan content sama bahagia, pasti lebih seneng dong sama yang namanya content. 

Dan sebenarnya, to feel content itu pilihan masing-masing orang. Kayak cinta *eaa, perasaan content itu ga bisa dipaksain. Perasaan content itu bukan didapat dari sebuah force dari luar. Semuanya itu dari dalam diri kamu sendiri. 

Why?

Karena to feel content, semua orang punya caranya sendiri dan pastinya berbeda-beda. 

Kok bisa beda? 

Iya, berbeda. Karena ambisi, goal, keinginan dan pengalaman setiap orang itu juga berbeda-beda. 

Contoh :

Untuk merasa content, bagi kaum yang hedon, dibutuhkan sejumlah kartu kredit di dompet, lembaran kertas dosa atau singkatnya duit, bank dan ATM private atau singkatnya bokap-nyokap-tajir, 

dan 2 buah kunci.

Yang satu kunci untuk satu unit beach house di Bridgehampton, N.Y. 

Yang satu lagi kunci untu satu unit Lamborghini Veneno. 

Dilapisi emas asli.

Mati ngga tuh? 

Sedangkan untuk pengemis beranak 3 yang udah ngga makan seminggu sekeluarganya, dapat uang 15rebu rupiah aja udah content. 

See? 

Level contentnya semua orang itu berbeda-beda, yang membuatnya sama itu cuma ambisi setiap orang itu aja. Kenapa ambisi? Kenapa ngga keinginan atau tujuan? Karena ambisi itu kayak mendaki gunung bagi orang yang suka mendaki gunung. Kalau ada satu gunung yang dari dulu udah pengen didaki dan orang itu rela ngorbanin apa aja buat ngedaki gunung itu, maka itu udah termasuk ambisi. Kalau cuma pengen doang mah, effort yang akan dikeluarkan itu ngga akan sebesar ambisi. 
Ambition is somehow deeper in any means compared to a wish. 
Makanya, dalam pemilihan kata, ambisi itu lebih tepat.

The question is, how the *harsh word detected* can I be content?

The answer is quite simple. 

Be thankful of everything you already have,
let go of things you wish you could have,
And cherish things in life.
And the most important thing is, you have to *harsh word detected*ing work for it.

Ah, pasti pada bilang, "basi ah, lea. Tiap hari cuma bisa ngingatin itu doang udah mau ngalah-ngalahin iklan asuransi. Kalau tiap hari kerjaannya begono doang, gue mah bisa."

Yah iyalah, bro. Elo mau sekalian gue cariin pembantu, bokap nyokap tajir, pacar ganteng selevel sama GGS cantik selevel artis Korea, sekalian gue bangunin Candi buat nyembah elo? 

Sorry keceplosan judesnya. Hahah 😅

Well, mau gimana lagi? Yang bisa kubantu di sini cuma nyemangatin selevel di bawah Raisa doang. Semuanya kembali lagi ke kalian, karena as i've said before, being content / to feel content itu pilihan. Ngga bisa dong aku maksain kalian buat ngerasain perasaan terdamai itu. 
Perlu juga digarisbawahi dan pake hashtag kalau perlu di bagian work for it itu. Tanpa itu, susah deh mau ngerasain content. 
Pengemis aja harus panas-panasan ala upacara bendera hari senin seharian buat ngerasa content. Apalagi kalian yang pastinya ambisinya lebih gede. 

Tapi bagaimanapun juga, meskipun basi, cara paling gampang buat ngerasa content itu yah ngerasa thankful. Coba deh lihat sekelilingmu. Lihat pencapaianmu, hitung umurmu, ingat lagi pengalamanmu. Semuanya bisa kamu syukuri, dan somehow, at some point of nostalgia, you'll feel content for everything because you can be thankful about them. 

Coba deh. Ngga rugi kok. 😌

Aight, that's all folks. 

Sorry for my abandoned blog and these ruckus I share.



No comments: