Monday 13 May 2013

Tugas Cerpen Bahasa Indonesia


Surga yang Tidak Pernah Jauh

Minggu yang kelabu di pemakaman. Para tamu yang berbelasungkawa mulai berpamitan dan saling bertukaran bahasa kalbu sembari menatap iba pada dia yang bergaun hitam dari atas ke bawah. Dia yang hari ini tampak sangat rapuh dalam sepatu hak tingginya, yang terus menitikkan air mata sambil menatap kosong ke peti yang sudah ditutupi tanah berselimutkan kelopak bunga mawar. Hatiku hancur melihatnya seperti itu. Sosoknya yang selama ini kuat sedang absen hari ini dari dirinya. Aku tak bisa menahan diriku untuk mendekatinya dan memeluknya.
                “Kemarin, kita belajar untuk melepaskan. Dan mulai hari ini, kamu harus mulai belajar bahwa surga itu tidak pernah terlalu jauh,” ucapku sambil mengusap puncak kepalanya. Dia menatapku bingung dengan kedua bola matanya yang sebening batu permata yang tergantung di lehernya. Dia hari ini tampak sangat  kacau dan berantakan, tetapi dia tetap berhasil membuatku jatuh cinta lagi padanya untuk kesekian kalinya, meskipun dia tak pernah menyadari itu.
                “Sekarang, dia pasti sudah ada di surga bersama Bapa. Dan kita semua tahu bahwa dia akan selalu ada di dalam hati kita, karena itu kau tidak kehilangan dia. Bahkan sekarang kau akan selalu memilikinya di dalammu. Karena surga itu tidak pernah terlalu jauh. Kau cukup menutup matamu maka, kau akan menemukannya. Jangan sedih lagi, ya,” jelasku padanya. Aku memang tidak pandai merangkai kata-kata untuk menjelaskan apa yang kumaksud. Tetapi aku lega telah berhasil membuatnya tersenyum sebentar yang mungkin merupakan senyum pertamanya hari ini.
“Terima kasih,” ucapnya lalu menutup matanya dan melingkarkan kedua lengannya mengelilingi punggungku. Mungkin dia mengerti apa maksudku. Tak lama kemudian, pegangannya mengendur. Badannya melemas dan aku menahannya sebelum raganya yang rapuh tumbang ke hamparan rumput yang dibasahi embun. Diikuti dengan teriakan beberapa tamu yang dari tadi mengunci pandangan kepadanya yang kini tidak sadarkan diri di dalam lenganku.

Beberapa hari sebelumnya

Elshie Kencana
“Elshie Kencana!” Teriak guru Geografi yang berhasil membuat seisi kelas hening. Dan berhasil membangunkanku dari tidur singkatku yang tidak begitu lelap di atas meja belajar yang penuh dengan coretan contekan ini.
“Coba kamu berdiri dan jelaskan apa perbedaan hulu dan hilir!” Lanjut guru Geografiku yang makin ganas mukanya siap membebaniku dengan hukuman.
‘Sial. Apa yang sudah kulewatkan di sini?’ Batinku. Lalu aku melihat ke arah papan tulis yang berisi suatu gambaran asal hulu dan hilir. Setelah mencoba menebak-nebak jawaban dan meracau ngasal, akhirnya bapak itu membiarkanku duduk lagi diikuti dengan tawa dan ledekan teman-temanku. Untung saja aku jago bacotnya. Kalau ngga, bisa-bisa aku disuruh lari lapangan karena ketahuan tidur di kelas.
“Gila kali kau tidur di pelajaran bapak ini. Kena kan jadinya, hahaha!” Katya, sebangku sialanku mulai berkicau.
“Yah, elu bukannya bantuin bisikin jawabannya malah diam aja kayak kutu, gimana sih!”
“Yah, maaf. Masalahnya yah, Shie, aku juga ngga ngerti hulu yang mana hilir yang mana,” jawab Katya dengan polos.
Memang lucu temanku yang satu ini. Aku yang ketiduran tapi dia yang tidak bisa membedakan hulu dan hilir. Sambil menyalin catatan Katya dan pura-pura menyimak guru Geografi kami, aku menantikan jam istirahatku. Lima belas menit lagi.

Derren Mulana
“Hai! Kok mukamu kayak nggak disetrika, sih? Kusut habis,”
“Oh, jadi sebelum ke sekolah mukamu tuh disetrika dulu, ya? Pantesan gosong gitu,” balas Elshie dengan sarkasmenya yang khas sambil mengerucutkan mulutnya.
“Yah, nggak. Ini gosong gara-gara kemarin habis main ke pantai. Seru banget, deh. Sayang banget kamu kemarin nggak ikutan,” ucapku sambil tertawa ringan. Aku tahu, sebenarnya Elshie kemarin juga mau ikut ke pantai bersama teman-teman yang lain. Tapi seperti biasa, dia tetap menjadi anjing penjaga setia kantor papanya.
Yak, Elshie adalah putri tunggal si pengusaha sukses superhemat yang memimpin dua perusahaan hasil kerjasama dengan Malaysia dan Jerman. Bapak Harris Kencana yang tidak rela mengeluarkan uangnya yang segunung untuk menggaji seorang sekretaris yang akan mengingatkan jam rapatnya dan mengatur semua janjinya sekaligus menjadi satpam kantornya di sore hari. Sang pengusaha pelit itupun memperkerjakan putrinya, si siswi SMA yang baru selesai menjalani MOS (Masa Orientasi Sekolah) menjadi sekretarisnya yang akhirnya menjadi keuntungan di finansial dan mengingat mereka tinggal satu atap sehingga menjadikan Elshie agenda yang bisa dibawa-bawa siang dan malam. Hal semacam ini harus dimaklumi mengingat perusahaan yang bekerjasama dengan negara asing pasti akan merekrut banyak karyawan dari negara asing yang pengurusan imigrasi dan surat-surat kerjanya itu mahal dan merepotkan.
Sudah dua bulan Elshie bekerja dengan papanya dan sudah dua bulan juga sosoknya menghilang ditelan kesibukan. Aku mulai merindukannya yang dulu sering mengajakku membuat kue marmer dan minum teh panas bersama mamanya di rumahnya.
Dan aku juga tahu bahwa kemarin merupakan hari yang sangat buruk bagi gadis mungil yang sedang lesu di depanku ini. Kemarin salah satu karyawan papanya salah memesan jumlah mesin kompresor dan setelah dicek, ternyata Elshie salah menuliskan jumlah mesin yang akan dipesan. Alhasil, papanya marah besar karena kerugiannya mencapai hampir tujuh juta rupiah. Dan tak hanya itu, sepulang dari kantor Elshie juga diomeli mamanya, Govan Kencana. Ibunya yang sedikit bermasalah dengan jantungnya mengomel tentang betapa sibuknya Elshie dan papanya sehingga waktu yang tersedia untuk ibunya sangat minim. Lalu, mungkin karena Elshie sudah kecapaian diomelin di sana sini, Elshie memberontak dan bertengkar dengan mamanya. Dia mengalami ledakan emosi semalam. Segala hal yang selama ini dia pendam dalam-dalam dikeluarkan dalam bentuk air mata. Aku ingat suaranya yang serak melalui telepon semalam setelah dia bertengkar dengan mamanya. Dia menceritakan semuanya padaku tentang betapa ia menyesali segala hal yang ia katakan pada mamanya.
Dan aku juga tahu. Di saat seperti ini, dia bakalan ngidam martabak cokelat kejunya mas Odin di kantin depan sekolah. “Pulang ini kita pergi makan martabak mas Odin, yuk. Mau?” Tanyaku retoris kepadanya.
“Yuk!” Balasnya sambil tersenyum manis. Lebih manis dari cokelat kesukaannya.




Sepulang sekolah
Elshie Kencana
                Berbeda dengan Derren, aku tidak punya banyak teman. Aku tidak punya teman yang bisa kuajak ke mal dan aku bukanlah satu dari para gadis sekolahan yang berkumpul di satu rumah untuk menginap dan mengecat kuku bersama pada malam minggu. Tapi, dengan adanya Derren yang selalu ada 24 jam untukku dan Derren yang bisa kuajak makan ke pinggiran jalan tanpa harus ke hotel dan restoran mewah sudah cukup bagiku. Seperti sekarang ini. Di kantin depan sekolah menikmati martabak kesukaan kami, martabak mas Odin.
                “Kayaknya kamu harus berhenti jadi sekretaris papamu, deh. Kasihan sih mamamu sendirian di rumah. Kasihan juga kamunya sibuk terus jadinya jarang bisa jalan-jalan, kan?” Saran Derren setelah aku menyelesaikan ceritaku tentang bagaimana aku sudah damai dengan papa dan mamaku.
                “Yah, mungkin aku egois. Tapi aku jujur aja lebih senang ngerjain tugasku sekarang. Hitung-hitung, aku bisa belajar. Lagian di rumah aku nggak tahu mau ngapain.”
                “Nah, itu yang mamamu alamin. Mamamu juga nggak bisa ngapa-ngapain kan di rumah? Nggak kasihan, tuh? Kan di rumah kamu bisa nemanin dia daripada sama bapak-bapak di kantor.”
                “Iya, sih. Tapi kan ini buat dia juga. Aku cuma bantu papa dalam beberapa bulan aja, kok. Sekarang papa lagi masa-masa sulit. Biaya buat karyawannya dari Jerman aja sudah habisin berapa. Belum lagi pengurusan imigrasinya. Kalau aku nggak bantu papa, kami nggak akan bisa hidup kayak gini.”
                “Hidup yang seperti apa, Elsh? Bahagiamu itu nggak perlu sampai harus makan makanan mewah setiap hari, kan? Bahagia mamamu juga belum tentu dari mutiara dan permata yang papamu dan kamu kasih, kan? Terus ini bakal sampai kapan, Elsh? Kamu bisa kasihan sama papamu nggak kasihan sama mamamu?”
                Betul. Selama ini aku dan papa memang sepakat akan membelikan mama mutiara dan permata setelah papa sukses nanti dan Derren tahu itu. Kami yakin mama pasti akan bahagia. Tapi, apakah iya?
                “Derren, apaan sih? You made me look like I’m the bad guy when I’m just fulfilling what my parents want me to be. Setelah semua ini selesai, setelah finansial papa stabil, aku juga bakal berhenti kok. Lagian kerjaanku apa sih? Cuma ngingatin rapat aja, kok.”
                “Iya. Selain itu kamu juga absen pulang karyawan, jadi satpam sore, dan penyampai pesan. Itu tugas yang lumayan banyak untukmu. Bahkan karyawan papamu yang digaji kuintansi dan cek pulang lebih dulu daripada kamu yang digaji uang jajan. Bukannya mau menghakimi kamu, tapi kalau sampai kamu dan mamamu berantem kayak semalam, berarti udah ada masalah sama mamamu. Pesanku sih, luangkan aja waktumu lebih banyak untuknya.”
                Aku terdiam. Iya, sih. Kenapa mama semalam bisa sensi karena aku bantu kerjaan papa, ya? Padahal biasanya mama tidak begitu.
                “Elsh, bahagia itu sesederhana pengemis yang mendapatkan selembar uang seribuan di bawah terik matahari. Ngapain dibuat rumit sampai harus menghasilkan banyak uang, permata dan mutiara? Padahal dalam hal-hal sederhana juga kamu udah bisa bahagia. Belajar tuh dari pengemis. Gimana kalau sekarang kamu coba untuk bahagia dalam hal menemani mamamu? Orang yang sudah ngelahirin kamu? Ajak papamu juga. Bahagia itu nggak usah susah-susah cari uang. Mamamu itu gratis loh untuk kamu. Dan bahagia yang berarti itu adalah bisa memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Jangan sampai suatu saat nanti kamu menyesal karena nggak pernah ada untuk mamamu. Uang itu bisa dicari kapan-kapan.”

                Jleb! Nusuk. Semua yang dikatakan Derren benar. Dan aku benar-benar malu karena selama ini aku tampak materialistis di depan dia. Aku juga akhirnya sadar. Selama ini mungkin aku bahagia karena bisa membantu papa menafkahi keluarga. Padahal uang yang kami dapatkan itu bisa kadaluarsa. Tapi kasih sayang dari mama nggak akan kadaluarsa. Kenapa aku baru sadar sekarang? Mungkin di dunia ini, hanya Derren yang paling mengerti aku. Dan seperti yang sudah kubilang dari awal, aku tidak membutuhkan teman-teman yang bisa kuundang ke pesta ulang tahun sweet seventeenth-ku. Punya Derren saja sudah sangat cukup.
                “Nanti mampir ke rumahku, yuk,” ajakku. Mengingat sudah hampir satu bulan Derren tidak pernah ke rumahku karena aku akan langsung ke kantor sepulang sekolah. Tapi masa bodoh. Hari ini aku bolos. Aku rindu membuat kue marmer bersama dengan mama dan Derren.
                “Nggak ke kantor, nih?” Tanya Derren setengah meledek.
                “Bolos.”
                “Aku rindu kue marmer buatan kita,” ucap Derren sambil tertawa ringan. Tawa khasnya yang seakan-akan mengatakan bahwa semuanya akan selalu baik-baik saja. Dan aku sadar, aku juga merindukannya.


                Sorenya, Govan Kencana yang sedang merawat kebun lavender kesayangannya dikejuti dengan kehadiran Elshie dan Derren yang mengajaknya membuat kue marmer bersama. Tentunya, wanita setengah baya itu sangat senang setelah beberapa bulan dikelilingi oleh rasa sepi karena kesibukan suami dan anaknya sendiri. Sore itu berakhir manis dengan kue marmer hangat dan teh panas. Suasana menjadi lengkap saat Harris Kencana segera pulang ke rumah tidak ingin melewatkan pertemuan keluarga yang singkat setelah dikuliahi Derren lewat telepon. Harris juga menyatakan penyesalannya kepada Govan Kencana mengenai betapa sibuknya ia. Harris dan Elshie pun berjanji akan membagi waktu bersama Govan mulai dari saat itu. Hari itu benar-benar manis dan sempurna, semanis kue marmer dan teh panas. Saat jam makan malam, Derren pun pamit pulang. Keluarga Kencana pun bersiap-siap untuk makan bersama di luar. Tetapi, di tengah perjalanan terjadi kecelakaan.
               
Derren Mulana
                “Om Harris! Bagaimana keadaan tante dan Elshie?” Sahutku setengah berlari setelah mendapat kabar dari om Harris bahwa mobil yang ia kendarai ditabrak lori yang menyalip dari arah depan. Om Harris tampak sangat kacau dengan kemeja putihnya yang kini ternodai warna merah gelap, warna darah.
                “Oom tidak tahu, Ren. Kita berdoa saja, ya. Mereka sedang diselamatkan di dalam sana.”
                Aku terdiam. Terdiam oleh ketabahan om Harris. Dan terdiam oleh ketakutan akan kehilangan seseorang yang diam-diam kucintai selama ini. Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya sang dokter keluar dari ruang UGD. Aku tidak akan pernah lupa akan kabar buruk dan kabar baik yang ia berikan detik itu. Kabar yang membuat seseorang harus memilih satu di antara kedua orang yang paling disayangi.
                Tante Govan dan Elshie dikhawatirkan akan meninggal kehabisan darah. Sedangkan jenis darah mereka adalah AB rhesus negatif, golongan darah langka, dan rumah sakit ini tidak ada stok untuk jenis itu. Golongan darah om Harris dan aku adalah B. Kami jelas tidak bisa mendonorkan darah kami. Kami pun hanya bisa menyelamatkan satu di antara mereka dengan mengambil darah yang akan dikorbankan dan menyalurkannya kepada yang akan kami selamatkan. Kami hanya bisa memilih satu di antara dua orang yang kami cintai. Keputusan yang paling berat pun akhirnya tercapai.
Elshie Kencana
                “Kamu sudah bangun?” Tanya Derren lembut. Aku kenal betul dengan suara yang sudah menemaniku keluar-masuk rumah sakit.
                “Tadi kamu pingsan di pemakaman. Kamu nggak apa-apa, kan? Mau aku ambilkan sesuatu?”
                Ah, iya. Aku ingat sekarang. Aku pingsan setelah dua jam mengikuti upacara pemakaman mama. Aku pingsan saat Derren datang dan memecahkan lamunanku dengan peluknya. Dan suaranya yang khas seakan mengatakan semuanya akan selalu baik-baik saja. Dan sekarang aku di tempat yang tidak asing. Tirai abu-abu dan piyama biru bergaris dalam rumah sakit yang menyimpan banyak duka ini.
                Dan aku juga mengingat satu hal. Saat Derren mengatakan aku hanya perlu menutup mataku untuk melihat mama lagi. Aku mengingat itu. Dan saat kututup mataku, aku melihatnya. Dan aku bisa meraihnya dan memeluknya lagi. Aku menceritakan semua hal yang ingin aku lakukan dengannya dan mengatakan bahwa aku menyesal. Sungguh menyesal karena tidak pernah menghargai waktuku bersamanya. Dan mama menatapku. Dia berkata kepadaku bahwa tidak ada yang berakhir di antara kita. Semua baru saja dimulai hanya saja caranya berbeda karena mulai sekarang ia dan aku adalah satu. Ia mengalir dari jantung hingga ke seluruh lapisan tubuhku dan ia akan terus mengalir dan menjaga hidupku. Lalu, ...
                “Ssshh.. sudah berlalu,” ucap Derren yang tiba-tiba saja sudah duduk di pinggir kasurku menghapus air mataku yang tanpa kusadari menuruni pipiku. Derren tahu apa yang aku pikirkan. Derren selalu tahu.
                “Aku melihatnya,” kataku kepada Derren. Derren tersenyum kepadaku.
                “Apa yang dikatakannya?”
                “Dia berkata kepadaku bahwa tidak ada yang berakhir di antara kita. Semua baru saja dimulai hanya saja caranya berbeda karena mulai sekarang ia dan aku adalah satu. Ia mengalir dari jantung hingga ke seluruh lapisan tubuhku dan ia akan terus mengalir dan menjaga hidupku,” lalu aku berhenti. Tidak bisa melanjutkan.
                “Jangan dipaksakan, Elshie.”
                Tidak bisa. Aku harus mengatakannya, “dia berkata, dia bersyukur akan pertengkaran kami waktu itu. Dia bersyukur karena aku dan papa sudah meninggalkannya di rumah sendiri. Dan dia bersyukur kamu sudah menyadarkan kami. Dan dia juga bersyukur akan sisa waktu yang telah diberikan Bapa kepada kita. Dan dia bersyukur bisa menggunakannya sebaik mungkin. Dia juga bersyukur...”
                Aku terdiam dan menangis lagi. Derren meraihku dan memelukku erat.
                “Dia bersyukur sudah menyelamatkanku sehingga dia diterima oleh Bapa di surga. Dan dia bersyukur surga itu tidak pernah terlalu jauh dari kita semua karena surga itu ada di dalam diri kita. Kau benar, Derren. Kau selalu benar.”
                Lalu aku menangis lagi lebih keras. Tapi perasaanku lebih damai. Karena aku tahu mama ada di sini. Selalu ada di sini bersama kami. Dengan Derren yang selalu setia menemaniku, aku pasti bisa melalui semua ini. Aku tidak butuh banyak teman. Punya Derren yang selalu mengerti aku saja sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup.
                “Mau martabak mas Odin?” Tanya Derren sambil mengusap ujung kepalaku.
                “Aku mencintaimu, Derren,” ucapku mantap di sela tangisanku. Benar. Aku mencintainya yang selalu ada untukku dalam segala keburukanku. Aku mencintainya yang selalu mengerti hal-hal yang bahkan tak pernah kukatakan padanya. Aku mencintainya yang selalu tahu aku mengidam martabak mas Odin saat aku sedang sedih. Dan aku mencintainya yang selalu memelukku saat aku ketakutan dan tenggelam dalam kesedihan sambil mengusap puncak kepalaku seakan melindungiku dan dengan suaranya yang selalu menenangkan seakan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
                “Aku lebih mencintaimu, Elshie Kencana,” balas Derren tulus.


                Dari luar ruangan, Harris Kencana memperbaiki letak kacamatanya. Ia tahu, ia telah memilih keputusan yang tepat. Ia tahu, inilah yang diinginkan mendiang istrinya. Dan ia bersyukur telah mendapatkan kesempatan untuk sadar dari kebodohannya selama ini. Meski hatinya hancur karena kini dia tinggal sendiri, hatinya damai. Karena ia juga tahu, wanita yang paling dicintainya akan selalu tinggal di dalam hatinya.
                “Andaikan ragamu masih di sini, Govan Kencana. Andaikan aku bisa menyaksikan putri kita tumbuh dewasa bersamamu.”
                Harris berdiri dan berniat untuk pergi meninggalkan rumah sakit dan tiba-tiba, semerbak wangi bunga lavender merebak di udara. Harris tersenyum.
                “Aku tahu kau akan selalu bersama kami. Terima kasih, Govan. Kau wanita yang luar biasa,” ucapnya sambil melangkah pergi.

Leanna Leonardo (22)
X.6
                

No comments: