Surga yang Tidak
Pernah Jauh
Minggu yang kelabu di pemakaman. Para tamu yang
berbelasungkawa mulai berpamitan dan saling bertukaran bahasa kalbu sembari
menatap iba pada dia yang bergaun hitam dari atas ke bawah. Dia yang hari ini
tampak sangat rapuh dalam sepatu hak tingginya, yang terus menitikkan air mata
sambil menatap kosong ke peti yang sudah ditutupi tanah berselimutkan kelopak
bunga mawar. Hatiku hancur melihatnya seperti itu. Sosoknya yang selama ini
kuat sedang absen hari ini dari dirinya. Aku tak bisa menahan diriku untuk
mendekatinya dan memeluknya.
“Kemarin, kita
belajar untuk melepaskan. Dan mulai hari ini, kamu harus mulai belajar bahwa
surga itu tidak pernah terlalu jauh,” ucapku sambil mengusap puncak kepalanya.
Dia menatapku bingung dengan kedua bola matanya yang sebening batu permata yang
tergantung di lehernya. Dia hari ini tampak sangat kacau dan berantakan, tetapi dia tetap
berhasil membuatku jatuh cinta lagi padanya untuk kesekian kalinya, meskipun
dia tak pernah menyadari itu.
“Sekarang, dia
pasti sudah ada di surga bersama Bapa. Dan kita semua tahu bahwa dia akan
selalu ada di dalam hati kita, karena itu kau tidak kehilangan dia. Bahkan
sekarang kau akan selalu memilikinya di dalammu. Karena surga itu tidak pernah
terlalu jauh. Kau cukup menutup matamu maka, kau akan menemukannya. Jangan
sedih lagi, ya,” jelasku padanya. Aku memang tidak pandai merangkai kata-kata
untuk menjelaskan apa yang kumaksud. Tetapi aku lega telah berhasil membuatnya
tersenyum sebentar yang mungkin merupakan senyum pertamanya hari ini.
“Terima kasih,” ucapnya lalu menutup matanya dan
melingkarkan kedua lengannya mengelilingi punggungku. Mungkin dia mengerti apa
maksudku. Tak lama kemudian, pegangannya mengendur. Badannya melemas dan aku
menahannya sebelum raganya yang rapuh tumbang ke hamparan rumput yang dibasahi
embun. Diikuti dengan teriakan beberapa tamu yang dari tadi mengunci pandangan
kepadanya yang kini tidak sadarkan diri di dalam lenganku.
Beberapa hari
sebelumnya
Elshie Kencana
“Elshie Kencana!” Teriak guru Geografi yang
berhasil membuat seisi kelas hening. Dan berhasil membangunkanku dari tidur
singkatku yang tidak begitu lelap di atas meja belajar yang penuh dengan
coretan contekan ini.
“Coba kamu berdiri dan jelaskan apa perbedaan hulu
dan hilir!” Lanjut guru Geografiku yang makin ganas mukanya siap membebaniku
dengan hukuman.
‘Sial. Apa yang sudah kulewatkan di sini?’ Batinku.
Lalu aku melihat ke arah papan tulis yang berisi suatu gambaran asal hulu dan
hilir. Setelah mencoba menebak-nebak jawaban dan meracau ngasal, akhirnya bapak
itu membiarkanku duduk lagi diikuti dengan tawa dan ledekan teman-temanku.
Untung saja aku jago bacotnya. Kalau ngga, bisa-bisa aku disuruh lari lapangan
karena ketahuan tidur di kelas.
“Gila kali kau tidur di pelajaran bapak ini. Kena
kan jadinya, hahaha!” Katya, sebangku sialanku mulai berkicau.
“Yah, elu
bukannya bantuin bisikin jawabannya malah diam aja kayak kutu, gimana sih!”
“Yah, maaf. Masalahnya yah, Shie, aku juga ngga
ngerti hulu yang mana hilir yang mana,” jawab Katya dengan polos.
Memang lucu temanku yang satu ini. Aku yang ketiduran
tapi dia yang tidak bisa membedakan hulu dan hilir. Sambil menyalin catatan
Katya dan pura-pura menyimak guru Geografi kami, aku menantikan jam
istirahatku. Lima belas menit lagi.
Derren Mulana
“Hai! Kok mukamu kayak nggak disetrika, sih? Kusut
habis,”
“Oh, jadi sebelum ke sekolah mukamu tuh disetrika
dulu, ya? Pantesan gosong gitu,” balas Elshie dengan sarkasmenya yang khas sambil
mengerucutkan mulutnya.
“Yah, nggak. Ini gosong gara-gara kemarin habis
main ke pantai. Seru banget, deh. Sayang banget kamu kemarin nggak ikutan,”
ucapku sambil tertawa ringan. Aku tahu, sebenarnya Elshie kemarin juga mau ikut
ke pantai bersama teman-teman yang lain. Tapi seperti biasa, dia tetap menjadi
anjing penjaga setia kantor papanya.
Yak, Elshie adalah putri tunggal si pengusaha
sukses superhemat yang memimpin dua perusahaan hasil kerjasama dengan Malaysia
dan Jerman. Bapak Harris Kencana yang tidak rela mengeluarkan uangnya yang segunung
untuk menggaji seorang sekretaris yang akan mengingatkan jam rapatnya dan
mengatur semua janjinya sekaligus menjadi satpam kantornya di sore hari. Sang
pengusaha pelit itupun memperkerjakan putrinya, si siswi SMA yang baru selesai
menjalani MOS (Masa Orientasi Sekolah) menjadi sekretarisnya yang akhirnya
menjadi keuntungan di finansial dan mengingat mereka tinggal satu atap sehingga
menjadikan Elshie agenda yang bisa dibawa-bawa siang dan malam. Hal semacam ini
harus dimaklumi mengingat perusahaan yang bekerjasama dengan negara asing pasti
akan merekrut banyak karyawan dari negara asing yang pengurusan imigrasi dan
surat-surat kerjanya itu mahal dan merepotkan.
Sudah dua bulan Elshie bekerja dengan papanya dan
sudah dua bulan juga sosoknya menghilang ditelan kesibukan. Aku mulai
merindukannya yang dulu sering mengajakku membuat kue marmer dan minum teh
panas bersama mamanya di rumahnya.
Dan aku juga tahu bahwa kemarin merupakan hari yang
sangat buruk bagi gadis mungil yang sedang lesu di depanku ini. Kemarin salah
satu karyawan papanya salah memesan jumlah mesin kompresor dan setelah dicek,
ternyata Elshie salah menuliskan jumlah mesin yang akan dipesan. Alhasil,
papanya marah besar karena kerugiannya mencapai hampir tujuh juta rupiah. Dan
tak hanya itu, sepulang dari kantor Elshie juga diomeli mamanya, Govan Kencana.
Ibunya yang sedikit bermasalah dengan jantungnya mengomel tentang betapa
sibuknya Elshie dan papanya sehingga waktu yang tersedia untuk ibunya sangat
minim. Lalu, mungkin karena Elshie sudah kecapaian diomelin di sana sini,
Elshie memberontak dan bertengkar dengan mamanya. Dia mengalami ledakan emosi
semalam. Segala hal yang selama ini dia pendam dalam-dalam dikeluarkan dalam
bentuk air mata. Aku ingat suaranya yang serak melalui telepon semalam setelah
dia bertengkar dengan mamanya. Dia menceritakan semuanya padaku tentang betapa
ia menyesali segala hal yang ia katakan pada mamanya.
Dan aku juga tahu. Di saat seperti ini, dia bakalan
ngidam martabak cokelat kejunya mas Odin di kantin depan sekolah. “Pulang ini
kita pergi makan martabak mas Odin, yuk. Mau?” Tanyaku retoris kepadanya.
“Yuk!” Balasnya sambil tersenyum manis. Lebih manis
dari cokelat kesukaannya.
Sepulang
sekolah
Elshie Kencana
Berbeda dengan
Derren, aku tidak punya banyak teman. Aku tidak punya teman yang bisa kuajak ke
mal dan aku bukanlah satu dari para gadis sekolahan yang berkumpul di satu
rumah untuk menginap dan mengecat kuku bersama pada malam minggu. Tapi, dengan
adanya Derren yang selalu ada 24 jam untukku dan Derren yang bisa kuajak makan
ke pinggiran jalan tanpa harus ke hotel dan restoran mewah sudah cukup bagiku.
Seperti sekarang ini. Di kantin depan sekolah menikmati martabak kesukaan kami,
martabak mas Odin.
“Kayaknya kamu
harus berhenti jadi sekretaris papamu, deh. Kasihan sih mamamu sendirian di
rumah. Kasihan juga kamunya sibuk terus jadinya jarang bisa jalan-jalan, kan?”
Saran Derren setelah aku menyelesaikan ceritaku tentang bagaimana aku sudah
damai dengan papa dan mamaku.
“Yah, mungkin aku
egois. Tapi aku jujur aja lebih senang ngerjain tugasku sekarang. Hitung-hitung,
aku bisa belajar. Lagian di rumah aku nggak tahu mau ngapain.”
“Nah, itu yang
mamamu alamin. Mamamu juga nggak bisa ngapa-ngapain kan di rumah? Nggak
kasihan, tuh? Kan di rumah kamu bisa nemanin dia daripada sama bapak-bapak di
kantor.”
“Iya, sih. Tapi kan
ini buat dia juga. Aku cuma bantu papa dalam beberapa bulan aja, kok. Sekarang
papa lagi masa-masa sulit. Biaya buat karyawannya dari Jerman aja sudah habisin
berapa. Belum lagi pengurusan imigrasinya. Kalau aku nggak bantu papa, kami
nggak akan bisa hidup kayak gini.”
“Hidup yang
seperti apa, Elsh? Bahagiamu itu nggak perlu sampai harus makan makanan mewah
setiap hari, kan? Bahagia mamamu juga belum tentu dari mutiara dan permata yang
papamu dan kamu kasih, kan? Terus ini bakal sampai kapan, Elsh? Kamu bisa
kasihan sama papamu nggak kasihan sama mamamu?”
Betul. Selama ini
aku dan papa memang sepakat akan membelikan mama mutiara dan permata setelah
papa sukses nanti dan Derren tahu itu. Kami yakin mama pasti akan bahagia.
Tapi, apakah iya?
“Derren, apaan
sih? You made me look like I’m the bad
guy when I’m just fulfilling what my parents want me to be. Setelah semua
ini selesai, setelah finansial papa stabil, aku juga bakal berhenti kok. Lagian
kerjaanku apa sih? Cuma ngingatin rapat aja, kok.”
“Iya. Selain itu
kamu juga absen pulang karyawan, jadi satpam sore, dan penyampai pesan. Itu
tugas yang lumayan banyak untukmu. Bahkan karyawan papamu yang digaji kuintansi
dan cek pulang lebih dulu daripada kamu yang digaji uang jajan. Bukannya mau
menghakimi kamu, tapi kalau sampai kamu dan mamamu berantem kayak semalam,
berarti udah ada masalah sama mamamu. Pesanku sih, luangkan aja waktumu lebih
banyak untuknya.”
Aku terdiam. Iya,
sih. Kenapa mama semalam bisa sensi karena aku bantu kerjaan papa, ya? Padahal
biasanya mama tidak begitu.
“Elsh, bahagia
itu sesederhana pengemis yang mendapatkan selembar uang seribuan di bawah terik
matahari. Ngapain dibuat rumit sampai harus menghasilkan banyak uang, permata
dan mutiara? Padahal dalam hal-hal sederhana juga kamu udah bisa bahagia.
Belajar tuh dari pengemis. Gimana kalau sekarang kamu coba untuk bahagia dalam
hal menemani mamamu? Orang yang sudah ngelahirin kamu? Ajak papamu juga. Bahagia
itu nggak usah susah-susah cari uang. Mamamu itu gratis loh untuk kamu. Dan
bahagia yang berarti itu adalah bisa memanfaatkan waktu semaksimal mungkin.
Jangan sampai suatu saat nanti kamu menyesal karena nggak pernah ada untuk
mamamu. Uang itu bisa dicari kapan-kapan.”
Jleb! Nusuk. Semua
yang dikatakan Derren benar. Dan aku benar-benar malu karena selama ini aku
tampak materialistis di depan dia. Aku juga akhirnya sadar. Selama ini mungkin
aku bahagia karena bisa membantu papa menafkahi keluarga. Padahal uang yang
kami dapatkan itu bisa kadaluarsa. Tapi kasih sayang dari mama nggak akan
kadaluarsa. Kenapa aku baru sadar sekarang? Mungkin di dunia ini, hanya Derren
yang paling mengerti aku. Dan seperti yang sudah kubilang dari awal, aku tidak
membutuhkan teman-teman yang bisa kuundang ke pesta ulang tahun sweet seventeenth-ku. Punya Derren saja
sudah sangat cukup.
“Nanti mampir ke
rumahku, yuk,” ajakku. Mengingat sudah hampir satu bulan Derren tidak pernah ke
rumahku karena aku akan langsung ke kantor sepulang sekolah. Tapi masa bodoh.
Hari ini aku bolos. Aku rindu membuat kue marmer bersama dengan mama dan
Derren.
“Nggak ke kantor,
nih?” Tanya Derren setengah meledek.
“Bolos.”
“Aku rindu kue
marmer buatan kita,” ucap Derren sambil tertawa ringan. Tawa khasnya yang
seakan-akan mengatakan bahwa semuanya akan selalu baik-baik saja. Dan aku
sadar, aku juga merindukannya.
Sorenya, Govan
Kencana yang sedang merawat kebun lavender kesayangannya dikejuti dengan
kehadiran Elshie dan Derren yang mengajaknya membuat kue marmer bersama.
Tentunya, wanita setengah baya itu sangat senang setelah beberapa bulan
dikelilingi oleh rasa sepi karena kesibukan suami dan anaknya sendiri. Sore itu
berakhir manis dengan kue marmer hangat dan teh panas. Suasana menjadi lengkap
saat Harris Kencana segera pulang ke rumah tidak ingin melewatkan pertemuan
keluarga yang singkat setelah dikuliahi Derren lewat telepon. Harris juga
menyatakan penyesalannya kepada Govan Kencana mengenai betapa sibuknya ia.
Harris dan Elshie pun berjanji akan membagi waktu bersama Govan mulai dari saat
itu. Hari itu benar-benar manis dan sempurna, semanis kue marmer dan teh panas.
Saat jam makan malam, Derren pun pamit pulang. Keluarga Kencana pun
bersiap-siap untuk makan bersama di luar. Tetapi, di tengah perjalanan terjadi
kecelakaan.
Derren Mulana
“Om Harris!
Bagaimana keadaan tante dan Elshie?” Sahutku setengah berlari setelah mendapat
kabar dari om Harris bahwa mobil yang ia kendarai ditabrak lori yang menyalip
dari arah depan. Om Harris tampak sangat kacau dengan kemeja putihnya yang kini
ternodai warna merah gelap, warna darah.
“Oom tidak tahu,
Ren. Kita berdoa saja, ya. Mereka sedang diselamatkan di dalam sana.”
Aku terdiam.
Terdiam oleh ketabahan om Harris. Dan terdiam oleh ketakutan akan kehilangan
seseorang yang diam-diam kucintai selama ini. Setelah menunggu beberapa jam,
akhirnya sang dokter keluar dari ruang UGD. Aku tidak akan pernah lupa akan
kabar buruk dan kabar baik yang ia berikan detik itu. Kabar yang membuat
seseorang harus memilih satu di antara kedua orang yang paling disayangi.
Tante Govan dan
Elshie dikhawatirkan akan meninggal kehabisan darah. Sedangkan jenis darah
mereka adalah AB rhesus negatif, golongan darah langka, dan rumah sakit ini
tidak ada stok untuk jenis itu. Golongan darah om Harris dan aku adalah B. Kami
jelas tidak bisa mendonorkan darah kami. Kami pun hanya bisa menyelamatkan satu
di antara mereka dengan mengambil darah yang akan dikorbankan dan menyalurkannya
kepada yang akan kami selamatkan. Kami hanya bisa memilih satu di antara dua
orang yang kami cintai. Keputusan yang paling berat pun akhirnya tercapai.
Elshie Kencana
“Kamu sudah
bangun?” Tanya Derren lembut. Aku kenal betul dengan suara yang sudah menemaniku
keluar-masuk rumah sakit.
“Tadi kamu
pingsan di pemakaman. Kamu nggak apa-apa, kan? Mau aku ambilkan sesuatu?”
Ah, iya. Aku
ingat sekarang. Aku pingsan setelah dua jam mengikuti upacara pemakaman mama.
Aku pingsan saat Derren datang dan memecahkan lamunanku dengan peluknya. Dan
suaranya yang khas seakan mengatakan semuanya akan selalu baik-baik saja. Dan
sekarang aku di tempat yang tidak asing. Tirai abu-abu dan piyama biru bergaris
dalam rumah sakit yang menyimpan banyak duka ini.
Dan aku juga
mengingat satu hal. Saat Derren mengatakan aku hanya perlu menutup mataku untuk
melihat mama lagi. Aku mengingat itu. Dan saat kututup mataku, aku melihatnya.
Dan aku bisa meraihnya dan memeluknya lagi. Aku menceritakan semua hal yang
ingin aku lakukan dengannya dan mengatakan bahwa aku menyesal. Sungguh menyesal
karena tidak pernah menghargai waktuku bersamanya. Dan mama menatapku. Dia
berkata kepadaku bahwa tidak ada yang berakhir di antara kita. Semua baru saja
dimulai hanya saja caranya berbeda karena mulai sekarang ia dan aku adalah
satu. Ia mengalir dari jantung hingga ke seluruh lapisan tubuhku dan ia akan
terus mengalir dan menjaga hidupku. Lalu, ...
“Ssshh.. sudah
berlalu,” ucap Derren yang tiba-tiba saja sudah duduk di pinggir kasurku
menghapus air mataku yang tanpa kusadari menuruni pipiku. Derren tahu apa yang
aku pikirkan. Derren selalu tahu.
“Aku melihatnya,”
kataku kepada Derren. Derren tersenyum kepadaku.
“Apa yang
dikatakannya?”
“Dia berkata
kepadaku bahwa tidak ada yang berakhir di antara kita. Semua baru saja dimulai
hanya saja caranya berbeda karena mulai sekarang ia dan aku adalah satu. Ia
mengalir dari jantung hingga ke seluruh lapisan tubuhku dan ia akan terus
mengalir dan menjaga hidupku,” lalu aku berhenti. Tidak bisa melanjutkan.
“Jangan
dipaksakan, Elshie.”
Tidak bisa. Aku
harus mengatakannya, “dia berkata, dia bersyukur akan pertengkaran kami waktu
itu. Dia bersyukur karena aku dan papa sudah meninggalkannya di rumah sendiri.
Dan dia bersyukur kamu sudah menyadarkan kami. Dan dia juga bersyukur akan sisa
waktu yang telah diberikan Bapa kepada kita. Dan dia bersyukur bisa
menggunakannya sebaik mungkin. Dia juga bersyukur...”
Aku terdiam dan
menangis lagi. Derren meraihku dan memelukku erat.
“Dia bersyukur
sudah menyelamatkanku sehingga dia diterima oleh Bapa di surga. Dan dia
bersyukur surga itu tidak pernah terlalu jauh dari kita semua karena surga itu
ada di dalam diri kita. Kau benar, Derren. Kau selalu benar.”
Lalu aku menangis
lagi lebih keras. Tapi perasaanku lebih damai. Karena aku tahu mama ada di
sini. Selalu ada di sini bersama kami. Dengan Derren yang selalu setia
menemaniku, aku pasti bisa melalui semua ini. Aku tidak butuh banyak teman.
Punya Derren yang selalu mengerti aku saja sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup.
“Mau martabak mas
Odin?” Tanya Derren sambil mengusap ujung kepalaku.
“Aku mencintaimu,
Derren,” ucapku mantap di sela tangisanku. Benar. Aku mencintainya yang selalu
ada untukku dalam segala keburukanku. Aku mencintainya yang selalu mengerti
hal-hal yang bahkan tak pernah kukatakan padanya. Aku mencintainya yang selalu tahu aku mengidam martabak mas Odin saat aku sedang sedih. Dan aku mencintainya yang
selalu memelukku saat aku ketakutan dan tenggelam dalam kesedihan sambil
mengusap puncak kepalaku seakan melindungiku dan dengan suaranya yang selalu
menenangkan seakan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Aku lebih
mencintaimu, Elshie Kencana,” balas Derren tulus.
Dari luar
ruangan, Harris Kencana memperbaiki letak kacamatanya. Ia tahu, ia telah memilih
keputusan yang tepat. Ia tahu, inilah yang diinginkan mendiang istrinya. Dan ia
bersyukur telah mendapatkan kesempatan untuk sadar dari kebodohannya selama
ini. Meski hatinya hancur karena kini dia tinggal sendiri, hatinya damai.
Karena ia juga tahu, wanita yang paling dicintainya akan selalu tinggal di
dalam hatinya.
“Andaikan ragamu
masih di sini, Govan Kencana. Andaikan aku bisa menyaksikan putri kita tumbuh
dewasa bersamamu.”
Harris berdiri
dan berniat untuk pergi meninggalkan rumah sakit dan tiba-tiba, semerbak wangi
bunga lavender merebak di udara. Harris tersenyum.
“Aku tahu kau
akan selalu bersama kami. Terima kasih, Govan. Kau wanita yang luar biasa,”
ucapnya sambil melangkah pergi.
Leanna Leonardo (22)
X.6